Hukum Nikah Siri Dalam Islam
Oleh : H. ACEP ANWAR, M.Ag
Nikah siri bukanlah sesuatu yang
asing bagi masyarakat Indonesia. Nikah siri dalam presepsi
masyarakat dipahami dengan 2 bentuk pernikahan :
Pertama, Nikah tanpa wali yang
sah dari pihak wanita. Kedua, Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya
pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).
Nikah
siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah,
sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah
adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya
nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali
dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi
Syaibah, thabrani, dsb.)
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah
tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya
yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan
sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis
Al-Habir, 3:156).
Kemudian, termasuk kategori nikah
tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak
berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita
yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga,
tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat
untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak
wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.
Jika nikah siri dipahami sebagaimana
di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian,
jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui
proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang
ditetapkan syariah.
Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah
siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti
tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu
KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga
nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah,
saksi, ijab-qabul akad nikah, dan seterusnya.
Hanya saja, pernikahan semacam ini
sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan
dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin,
diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak
bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS.
An-Nisa: 59). Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak
bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.
Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah
pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat
An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk
semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan
lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di
zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam
ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai
suami atau sebagai istri.
Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak
wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai
ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke
suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami
menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau
menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri
tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara
administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Dus, jadilah sang istri
terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung
jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan
kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.
Anda sebagai wanita atau pihak wali
wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda
sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada
batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu,
waspadalah..
Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita
perlu tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu
terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri.
Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak
kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki
akta kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai
warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal
ini terjadi pada keluarga Anda. Allahu a’lam. Sumber:
konsultasisyariah.com