Visi : Terwujudnya Masyarakat Kecamatan Cisitu Yang Taat Beragama, rukun, cerdas, Mandiri dan Sejahtera Lahir Bathin pada Tahun 2020. Moto Layanan: Melayani dengan Ramah, Cepat, Tepat dan Profesional. SELAMAT DATANG DI TANAH AIR KEMBALI JAMA'AH HAJI KAB. SUMEDANG, SEMOGA MENJADI HAJI YANG MABRUR. Biaya Nikah/Rujuk diluar Balai Nikah Rp. 600.000,- di setor langsung ke Bank. Biaya Nikah / Rujuk Gratis bila dilaksanakan di Balai Nikah pada hari dan jam kerja. Biaya Nikah / Rujuk Gratis bila ada keterangan miskin atau terkena bencana Alam.
MACAM-MACAM ANAK DAN KEDUDUKANNYA
(Persfektif Islam dan Perundang-undangan)
Oleh : Acep Anwar, M.Ag


Anak adalah perhiasan dalam sebuah keluarga yang memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan bagaimana cara kehadiran mereka ada dalam sebuah keluarga. Ada yang jelas bagaimana kehadirannya, ada yang sulit diketahui dari mana nasabnya, berikut ini kami kaji macam-macam anak dan kedudukannya dalam sebuah keluarga berdasarkan hukum Islam dan perundang undangan.


a.     Anak Sah
Tampaknya fiqih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.[1] Dalam pandangan hukum Islam, ada empat syaratagar nasab seorang anak dianggap sah, yaitu:
1)    Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil.
2)    Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-sedikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan.
3)    Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan.
4)    Suami tidak mengingkari anak tersebut.


b.    Anak Syubhat
Mengenai kedudukan anak syubhat dikemukakan oleh Muhammad Jawad Mughniyah[2]. Bahwa percampuran syubhat ialah manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram dia campuri. Hubungan syubhat ini ada dua macam: syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan (perbuatan)
a.     Syubhat dalam akad, adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang wanita seperti halnya dengan akad nikah sah lainnya, tapi kemudian ternyata bahwa akadnya tersebut fasid karena satu dan lain alasan.
b.     Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yakni manakala seseorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara mereka berdua, baik sah maupun fasid, semata-mata karena tidak sadar ketika melakukannya, atau dia meyakini bahwa wanita tersebut adalah halal untuk dicampuri, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu adalah wanita yang haram untuk dicampuri. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, orang mabuk, dan orang mengigau, serta orang yang yakin bahwa orang yang dia campuri itu adalah istrinya, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu bukan istrinya.

“Kalau ke-syubhat-an tersebut terjadi pada kedua belah pihak, maka anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut dikaitkan (nasabnya) pada keduanya. Sedangkan bila hanya terjadi pada salahsatu pihak, maka anak tersebut dikaitkan nasabnya hanya pada orang yang mengalami ke-syubhat-an, dan ditiadakan dari yang tidak mengalaminya”.[3]

c.      Anak Hasil Mut’ah
 Dikemukakan oleh Murtadha Mutahhan[4] bahwa “nikah mut’ah adalah suatu perkawinan yang dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan untuk jangka waktu tertentu”. “Anak mut’ah adalah anak sah berdasar syara’. Dia memiliki semua hak yang dimiliki oleh anak-anak sah lainnya, tanpa ada pengecualian, baik hak-hak syara’ maupun norma”.[5]

d.    Anak Zina
Zina adalah persetubuhan antara pria dan wanita yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah menurut agama.[6] Anak zina adalah anak yang dilahirkan akibat dari perbuatan zina. Dimana anak zina disebut juga sebagai anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak sah.
 “Para ulama mazhab sepakat bahwa, bila zina itu telah terbukti dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan dengan cara seperti yang telah dijelaskan tadi, maka tidak ada hak waris-mewarisi antara anak yang dilahirkan melalui perzinaan dengan orang-orang yang lahir dari mani orangtuanya. Sebab, anak tersebut, secara syar’i tidak memiliki kaitan nasab yang sah dengannya”.[7]

e.      Anak Temuan (Laqiith)
Dalam kitab “Nihayatul Muhtaj” dalam fiqih Syafi’iyah: Laqiithh secara syara’ adalah anak kecil yang dibuang di jalan dan tidak ada yang mengakuinya.[8] “Yang dimaksud dengan anak temuan adalah apabila seseorang menemukan seorang anakyang belum bisa menemukan kebutuhan dirinya dan belum pula bisa menjaga dirinya dari bahaya, lalu anak itu diambil dan dipeliharanya sebagaimana layaknya anggota keluarga lainnya. Seluruh ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada hak waris-mewarisi antara orang yang menemukan dengan anak yang ditemukan itu”.[9]

f.      Anak Adopsi (Tabani)
Anak angkat menurut bahasa arab dikenal dengan istilah tabani yang memiliki pengertian sama dengan adopsi. Tabani adalah suatu kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliyah dan permualaan Islam. Maksudnya apabila seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anaknya sendiri.[10]
Adopsi adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, lalu anak itu dia nasabkan kepada dirinya. Syariat Islam, tidak menjadikan adopsi sebagai sebab bagi terjadinya hak waris-mewarisi. Sebab, adopsi pada hakikatnya tidak dapat mengubah fakta, bahwa nasab anak itu bukan kepada dirinya, tetapi kepada orang lain.[11]

1.     Hak Anak dalam Fiqih Munakahat
Seorang anak yang lahir dalam sebuah keluarga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hak yang dimiliki oleh seorang anak sesuai dengan kedudukannya di dalam keluarga. Dimana seorang anak yang sah tidak dapat disamakan haknya dengan seorang anak angkat ataupun anak zina. salah satu hak anak-anak Muslim yang tidak bisa dialihkan kepada orang lain adalah hak untuk hidup.[12] Anak-anak dalam Islam juga mempunyai hak memperoleh pengesahan.[13] Seorang anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan dari orang tuanya, hal tersebut disebut juga dengan istilah hadhonah. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal 1 sebagai ketentuan umum, bahwa “hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”.
Selain dari apa yang telah disebutkan, seorang anak yang lahir dalam sebuah perkawinan yang sah memiliki hak untuk mewarisi harta benda orang tuanya sesuai dengan aturan yang ada dalam hukum syara’. Anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang tidak sah atau bahkan sama sekali tidak ada hubungan perkawinan yang biasa disebut dengan anak zina tidak memiliki hak saling mewarisi antara anak tersebut dengan ayahnya. Anak yang dimaksud tersebut hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. selain daripada itu “seluruh ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada hak waris-mewarisi antara orang yang menemukan dengan anak yang ditemukan”.[14]
Berkaitan dengan adopsi atau pengangkatan anak, bahwa hal tersebut tidak semata-mata menjadikan hak waris mewarisi antara orang tua yang mengadopsi dan anak yang diadopsi. Sebab, adopsi pada hakikatnya tidak dapat mengubah fakta, bahwa nasab anak itu bukan kepada dirinya, tetapi kepada orang lain.[15]
Menurut H. Zahry Hamid yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma[16] “Sesungguhnya dalam hukum Islam sifat hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat dilihat dari segi material, yaitu memberi nafkah, menyusukan (irdla’) dan mengasuh (hadhanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan perlindungan serta pendidikan rohani dan lain-lain”.

A.   Status  dan Hak Anak dalam Undang-Undang Perkawinan
1.     Status  Anak dalam Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan tidak hanya diatur dalam aturan agama saja, akan tetapi perkawinan pun diatur dalam peraturan negara. Di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, selain itu peraturan yang lebih khusus bagi orang yang beraga Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 Tentang Perkawinan, bahwa Perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”[17]. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal 2 bahwa “perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”[18]. Semua ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, baik rukun dan syarat yang harus dipenuhi tercantum dengan sangat jelas didalamnya. Sehingga sebuah perkawinan tidak hanya sah menurut agama, akan tetapi sah pula secara hukum negara.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang melangsungkannya, walaupun ikatan yang timbul bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata, karena hak dan kewajiban yang lahir dari sebuah perkawinan adalah hak dan kewajiban dalam hukum keluarga. Yakni hak dan kewajiban sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.
Selai dari perkawinan, Undang-Undang Perkawinan pun mengatur mengenai hal anak sebagai akibat dari adanya sebuah perkawinan. disebutkan dalam pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.  Kemudian disebutkan pula dalam pasal 43 ayat (1) bahwa “anak yang dilahirhan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Diketahui dari uraian tersebut, bahwa kedudukan anak berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dikategorikan kedalam dua. Yaitu anak sah dan anak diluar perkawinan yang sah.
1.     Anak sah adalah seorang anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan yang sah. Dimana suatu perkawinan akan dikatakan sah apabila telah terpenuhi syarat-syarat dan rukunnya sebagai mana telah ditentukan dalam peraturan tersebut.
Perkawinan dapat dikatakan sah oleh negara apabila telah terpenuhi bagian dari pasal 2 ayat (1) dan (2) dari Undang-Undang Perkawinan. yang isinya adalah sebagai berikut ayat (1) “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menrut huum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” ayat (2) “tiap-tiap perkawinan dicatat sesuai dengan undang-undang yang berlaku”. Setelah kedua hal dari pasal tersebut telah terpenuhi dalam sebuah perkawinan, maka dapat dikatakan perkawinan tersebut sah secara hukum agama dan sah pula secara hukum negara.
2.     Anak diluar perkawinan yang sah adalah anak yang lahir akibat dari suatu perkawinan yang tidak sah. Hal ini dapat disebabkan karena perkawinan orang tua dari anak tersebut merupakan perkawinan yang tidak dibenarkan baik secara agama atupun secara hukum negara. Dapat pula diakibatkan karena perkawinan tersebut melanggar pasal yang telah ditentukan oleh undang-undang yang telah mengaturnya.
Terkait dengan sah tidaknya seorang anak harus dilakukan karena menurut Abdulkadir Muhammad[19] mengatakan bahwa “Pembedaan ini perlu untuk mengurangi kemungkinan terjadi kelahiran sebelum perkawinan dilangsungkan, dan juga ada hubungannya dengan hak mewarisi”.
Dikatakan Oleh Subekti[20] bahwa “si ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan istrinya telah berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Disini si ayah itu harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain dalam waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu”. Dalam hal terkait terhadap penyangkalan seorang anak diatur dalam pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut (1) “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut”. (2) “pegadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menentukan ukuran tentang sah dan tidaknya seorang anak yang dilahirkan, selalu tidak terlepas dengan persoalan keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya. Karena dari perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang sah, sedangkan perkawinan yang tidak sah atau bahkan sama sekali tidak pernah ada perkawinan akan melahirkan anak dalam status anak yang tidak sah.
Sebenarnya, permasalahan mengenai kedudukan anak dalam aturan Undang-Undang Perkawinan masih simpang siur. Hal ini dapat dilihat dari bunyi pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “anak yang dilahirhan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dari bunyi pasal tersebut menimbulkan banyak penafsiran. Terkait dengan kalimat “anak yang dilahirkan diluar perkawinan” mengandung makna seperti apa? Apakah yang dimaksud diluar perkawinan itu adalah suatu kelahiran yang sama sekali tanpa adanya proses perkawinan, atau termasuk kedalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama sebagaimana disyaratkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, atu sebenarnya menunjuk pada suatu proses perkawinan yang  tidak didaftarkan sesuai dengan syarat pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Jika diterjemahkan secara parsial bunyi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tanpa memperhatikan ketentuan pasal 42. Maka anak yang dibenihkan dalam suatu perkawinan yang sah namun ketika anak tersebut lahir perkawinan orang tuanya telah putus. Maka anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya karena anak tersebut lahir diluar perkawinan.
Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “kedudukan anak dalam ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri”, namun sampai dengan saat ini pemerintah masih belum mengeluarkan peraturan terkait atas kedudukan anak luar kawin. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin.

2.     Hak Anak dalam Undang-Undang Perkawinan
Mengenai hak yang dimiliki oleh seorang anak dalam sebuah perkawinan diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan bahwa seorang anak memiliki hak untuk dipelihara dan mendapatkan pendidikan sebaik-baiknya dari kedua orang tuanya.hak tersebut harus terpenuhi hingga anak itu melakukan perkawinan atau hingga dapat berdiri sendiri. Hak-hak tersebut harus terus terpenuhi walaupun perkawinan diantara orang tuanya telah putus karena mengalami perceraian. Disamping kewajiban itu, “orang tua menguasai pula anaknya sampai anak berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan”.[21]
Dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat perbedaan hak yang dimiliki oleh seorang anak yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah dengan hak yang dimiliki oleh anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Anak yang sah memiliki hubungan perdata kepada kedua orang tuanya dan memiliki hak yang harus terpenuhi oleh kedua orang tuanya. termasuh saling mewarisi satu sama lainnya. Namun, anak yang terlahir diluar perkawinan yang sah, hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja dan hanya bisa saling mewarisi dengan ibunya saja. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
Terkait dengan pengangkatan terhadap anak terdapat aturannya dalam pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam. Yang menyatakan bahwa: “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. 


B.   Kedudukan dan Hak Anak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
1.     Kedudukan Anak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi menyelesaikan permasalahan dalam hal permohonan mengenai kedudukan seorang anak. dimana permohonan tersebut terselesaikan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Adapun duduk perkara dari permohonan tersebut adalah bahwa A sebagai Pemohon merupakan pihak yang secara tidak langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Keberadaan pasal ini menimbulkan ketidak pastian hukum yang mengakibatkan kerugian terhadap Pemohon terkait atas status perkawinan dan status hukum anak yang dihasilkan dari perkawinannya.
Pasal yang dianggap telah melanggar dan merugikan hak konstitusi Pemohon adalah Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pasal tersebut Pemohon memiliki hak konstitusional untuk mendapat pengesahan atas pernikahan dan mendapatkan status hukum untuk anaknya. Namun hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk kepada norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Norma konstitusi yang tibul dari pasal tersebut adalah adanya persamaan dan kesetaraan dihadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap setiap orang dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak yang dilahirkan dari anak tersebut adalah sah dihadapan hukum serta tidak dilakukan berbeda. Tetapi, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum. Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam, menurut norma hukum menjadi tidak sah karena tidak tercatat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan pemohon menjadi anak diluar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan anak yang terlantar saja, yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara. Dan, hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak Pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh oleh Undang-Undang Perkawinan.
Dalam kedudukannya sebagaimana diterangkan terlebih dahulu, maka telah terbukti Pemohon memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan. berdasarkan duduk perkara tersebut, maka Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk berkenan memberikan putusan agar menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Atas permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon, maka Pemohon mengajukan bukti-bukti untuk mmemperkuat dalil permohonannya. Selai itu, Pemohon pun mengajukan keterangan ahli untuk didengar keterangannya. yaitu  Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei 2011, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Namun keberadaan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengakibatkan adanya dua pemahaman. Di satu sisi, perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, di sisi lain perkawinan dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dicatat.
Dari perspektif hukum Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah memenuhi lima rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali dari pihak mempelai wanita. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, serta berdampak pada pernikahan seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun secara Islam tetapi karena tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA)  maka pernikahannya menjadi tidak sah.
Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa anak dari perkawinan tersebut hanya memiliki nasab dan hubungan kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu. Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan ditulis sebagai anak dari ibu tanpa bapak. Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat, kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya.
Keharusan mencatatkan pernikahan yang berimplikasi pada status anak di luar nikah yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena anak yang seharusnya dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya karena orang tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan yang tidak dicatat. Dalam hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep dosa turunan atau pelimpahan dosa dari satu pihak ke pihak lainnya. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam bersifat individu. Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain, apalagi bertanggung jawab terhadap dosa orang lain.
Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernasab kepada ibu kandungnya, namun ini bukan anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi syarat dan rukun). Anak yang lahir dari perkawinan sah secara Islam, meskipun tidak dicatatkan pada instansi terkait, tetap harus bernasab kepada kedua bapak dan ibunya. Bahkan dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut memutus hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang akan diadopsi tidak diketahui asal muasal dan bapak kandungnya, maka harus diakui sebagai saudara seagama atau aula/anak angkat dan bukan dianggap sebagai anak kandung.
Dalam  fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat perintah dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa’ untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk ulil amri). Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengandung madharat, tetapi menghapusnya juga menimbulkan  madharat, maka dalam kaidah hukum Islam, harus dipilih madharat-nya yang paling ringan.
Pertimbangan hukum yang diberikan oleh mahkamah konstitusi atas Permohonan tersebut adalah bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo, Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusional adalah mengadili pada tingkat pertamadan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstutionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi salahsatu kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga oleh karenanya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan tersebut.
Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya. Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaiman dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. 
Dengan melakukan pemeriksaan secara seksama dan bukti-bukti yang diberikan atas kedudukan hukum (legal standing) serta memperhatikan akibat yang dialami oleh para Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang dimaksud oleh Pemohon atas berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)  untuk mengajukan permohonan tersebut.
Oleh karena Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan tersebut, dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan pokok permohonan. Diketahui bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Prkawinan yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”,  dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan,  “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Terhadap permasalahan hukum pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan “...bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”
Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perkawinan di atas nyatalah bahwa  pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut menurut Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara. Pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan undang-undang dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dankebebasan orang lai, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kedua, Pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksud agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang luas, dikemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 Undang-Undang Prkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang dimiliki pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.
Permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administratif perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, Padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,  “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Prkawinan beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di liar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunyaadalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkostitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologidan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyaihubungan darah sebagai ayahnya
 Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang  untuk  mengadili permohonan tersebut. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.  Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang  Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari permohonan tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar putusan yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan,  “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut  harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Kemudian,  memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Dari apa yang diuraikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut diketahui bahwa ada perubahan kedudukan yang dimiliki oleh anak yang lahir diluar perkawinan. Terkait atas keabsahan perkawinan dari orang tuanya. Dapat dimaknai berdasarkan putusan tersebut bahwa kedudukan anak dapat dikategorikan kedalam dua kedudukan, yaitu anak yang sah sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan dan anak diluar perkawinan berdasar pasal 43 ayat (1) Udang-Undang Perkawinan. Namun dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusional tersebut. Kini anak yang lahir diluar perkawinan bukan hanya memiliki hubungan terhadap ibu dan keluarga ibunya saja. Melainkan anak tersebut dapat memiliki hubungan perdata terhadap ayah dan keluarga ayahnya, hal ini terlihat dengan adanya pemaknaan yang keluar dari amar putusan tersebut yaitu “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Tentunya hubungan tersebut harus memenuhi pula syarat yang telah ditentukan. Yaitu dengan adanya pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum yang dapat membuktikan anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang menjadi ayahnya.

2.     Hak Anak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pada mulanya dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan seorang anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak sah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Namun setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan kedudukan anak sekaligus sebagai uji materil atas pasal 43 tersebut, maka pasal tersebut mengalami perubahan dan menjadikan kedudukan yang dimiliki oleh seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah pun mengalami perubahan. Dimana, sejak lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut anak yang terlahir dari perkawinan yang tidak sah tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. akan tetapi memiliki hubungan perdata pula dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan kedudukan anak membuat perubahan yang sangat besar terhadap kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Tidak hanya memiliki hak yang harus terpenuhi oleh ibunya saja, namun dengan adanya putusan tersebut hak yang dimiliki anak tersebut harus terpenuhi pula oleh sang ayah. Dimana kedudukan ayah dari anak tersebut harus dapat dibuktikan dan dibenarkan bahwa ayah tersebut adalah benar sebagai ayah biologis dari sang anak. Sebagaiman telah disebutkan bahwa pembuktian kebenaran seorang ayah dapat dibuktikan dengan cara ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yag dibenarkan menurut hukum dan dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayahnya.
Sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seorang anak melalui putusan pengadilan ia berhak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan dan pendidikan dari ayah biologisnya. Seorang anak dan ibunya berhak dan terbuka peluang untuk membuktikan seorang laki-laki yang mereka tunjuk adalah ayah yang telah membenihkannya. Hal ini berdasar atas putusan pengadilan apabila laki-laki tersebut dinyatakan terbukti sebagai ayah biologis dari anak yang dimaksud. Maka sejak adanya putusan dari pengadilan seorang laki-laki sebagai ayah biologis dari seorang anak berkewajiban untuk memberikan pemeliharaan kepada anak biologisnya dalam bentuk pemberian nafkah baik untuk pemeliharaan maupun pendidikan.




[1] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) hlm. 276
[2] Ibid hlm. 389
[3] Ibid hlm. 391
[4] Murtadha Mutahhan, Hak-Hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: yapi, 1989) hlm. 18
[5] Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit., hlm. 394
[6] Ridwan AZ, Pengertian Zina, Dampak Negatif Perzinaan dan Cara Menghindarinya, dikutip dari: http://ridwanaz.com/islami/pengertian-zina-dampak-negatif-perzinaan-dan-cara-menghindari-zina, Diunduh pada tanggal 01 Januari  2015  pukul 22:00 WIB.
[7] Ibid hlm. 396
[8] Alfagerardi, Anak Temuan, Dikutip dari: http://islamind.blogspot.com/2011/12/anak-temuan.html. diunduh Pada Tanggal 01 Januari  2015  Pukul 19:43 WIB.
[9] Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit., hlm. 397
[10] Lia Hidayati, Anak Zina, Anak Pungut dan Anak Angkat, Dikutip dari: http://liahidayati.blogspot.com/2012/06/anak-zina-anak-pungut-dan-anak-angkat.html, diunduh pada Tanggal 01 Januari  2015  pukul 20:30 WIB.
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit., hlm. 398
[12] Hammudah ‘Abd. Al’Ati, Keluarga Muslim: Alih bahasa The family Structure in Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984) hlm. 241
[13] Ibid hlm. 246
[14] Muhammad Jawad Mughniyah, loc. Cit., hlm. 397
[15] Ibid hlm. 398
[16]Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007) hlm. 134
[17] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 1.
[18] Kompilasi Hukum Islam pasal 2.
[19] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993) hlm. 73.
[20] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984) hlm. 49.
[21] K. Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980) hlm. 34