MACAM-MACAM ANAK DAN KEDUDUKANNYA
(Persfektif Islam dan Perundang-undangan)
Oleh : Acep Anwar, M.Ag
Anak adalah perhiasan dalam sebuah
keluarga yang memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan bagaimana cara
kehadiran mereka ada dalam sebuah keluarga. Ada yang jelas bagaimana
kehadirannya, ada yang sulit diketahui dari mana nasabnya, berikut ini kami
kaji macam-macam anak dan kedudukannya dalam sebuah keluarga berdasarkan hukum
Islam dan perundang undangan.
a.
Anak Sah
Tampaknya fiqih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan
anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas
berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang
lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.[1]
Dalam pandangan hukum Islam, ada empat syaratagar nasab seorang anak dianggap
sah, yaitu:
1)
Kehamilan bagi seorang istri bukan
hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil.
2)
Tenggang waktu kelahiran dengan
pelaksanaan perkawinan sedikit-sedikitnya enam bulan sejak perkawinan
dilaksanakan.
3)
Anak yang lahir itu terjadi dalam
waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan.
4)
Suami tidak mengingkari anak
tersebut.
b.
Anak Syubhat
Mengenai kedudukan anak syubhat dikemukakan oleh Muhammad Jawad
Mughniyah[2].
Bahwa percampuran syubhat ialah manakala seorang laki-laki mencampuri seorang
wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram dia campuri. Hubungan syubhat
ini ada dua macam: syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan
(perbuatan)
a.
Syubhat dalam akad, adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah
dengan seorang wanita seperti halnya dengan akad nikah sah lainnya, tapi
kemudian ternyata bahwa akadnya tersebut fasid karena satu dan lain alasan.
b.
Syubhat dalam tindakan (perbuatan), yakni manakala seseorang laki-laki mencampuri
seorang wanita tanpa adanya akad antara mereka berdua, baik sah maupun fasid,
semata-mata karena tidak sadar ketika melakukannya, atau dia meyakini bahwa
wanita tersebut adalah halal untuk dicampuri, tapi kemudian ternyata bahwa
wanita itu adalah wanita yang haram untuk dicampuri. Termasuk dalam kategori
ini adalah hubungan seksual yang dilakukan orang gila, orang mabuk, dan orang
mengigau, serta orang yang yakin bahwa orang yang dia campuri itu adalah
istrinya, tapi kemudian ternyata bahwa wanita itu bukan istrinya.
“Kalau ke-syubhat-an tersebut terjadi pada kedua belah pihak, maka
anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut dikaitkan (nasabnya) pada keduanya.
Sedangkan bila hanya terjadi pada salahsatu pihak, maka anak tersebut dikaitkan
nasabnya hanya pada orang yang mengalami ke-syubhat-an, dan ditiadakan
dari yang tidak mengalaminya”.[3]
c. Anak Hasil Mut’ah
Dikemukakan
oleh Murtadha Mutahhan[4]
bahwa “nikah mut’ah adalah suatu perkawinan yang dilakukan atas
persetujuan kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan untuk jangka waktu
tertentu”. “Anak mut’ah adalah anak sah berdasar syara’. Dia
memiliki semua hak yang dimiliki oleh anak-anak sah lainnya, tanpa ada
pengecualian, baik hak-hak syara’ maupun norma”.[5]
d. Anak Zina
Zina adalah persetubuhan antara pria dan wanita yang tidak memiliki ikatan
perkawinan yang sah menurut agama.[6]
Anak zina adalah anak yang dilahirkan akibat dari perbuatan zina. Dimana anak
zina disebut juga sebagai anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang
tidak sah.
“Para ulama mazhab sepakat bahwa, bila zina
itu telah terbukti dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan dengan cara
seperti yang telah dijelaskan tadi, maka tidak ada hak waris-mewarisi antara
anak yang dilahirkan melalui perzinaan dengan orang-orang yang lahir dari mani
orangtuanya. Sebab, anak tersebut, secara syar’i tidak memiliki kaitan
nasab yang sah dengannya”.[7]
e. Anak Temuan (Laqiith)
Dalam kitab “Nihayatul Muhtaj” dalam fiqih Syafi’iyah: Laqiithh secara
syara’ adalah anak kecil yang dibuang di jalan dan tidak ada yang mengakuinya.[8]
“Yang dimaksud dengan anak temuan adalah apabila seseorang menemukan seorang
anakyang belum bisa menemukan kebutuhan dirinya dan belum pula bisa menjaga
dirinya dari bahaya, lalu anak itu diambil dan dipeliharanya sebagaimana
layaknya anggota keluarga lainnya. Seluruh ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada
hak waris-mewarisi antara orang yang menemukan dengan anak yang ditemukan itu”.[9]
f.
Anak Adopsi (Tabani)
Anak angkat menurut bahasa arab dikenal dengan istilah tabani yang
memiliki pengertian sama dengan adopsi. Tabani adalah suatu kebiasaan
yang berlaku pada masa jahiliyah dan permualaan Islam. Maksudnya apabila
seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap
anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anaknya sendiri.[10]
Adopsi adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak
yang jelas nasabnya, lalu anak itu dia nasabkan kepada dirinya. Syariat Islam,
tidak menjadikan adopsi sebagai sebab bagi terjadinya hak waris-mewarisi.
Sebab, adopsi pada hakikatnya tidak dapat mengubah fakta, bahwa nasab anak itu
bukan kepada dirinya, tetapi kepada orang lain.[11]
1. Hak Anak dalam Fiqih Munakahat
Seorang anak yang lahir dalam sebuah keluarga memiliki hak yang harus
dipenuhi oleh orang tuanya. Hak yang dimiliki oleh seorang anak sesuai dengan
kedudukannya di dalam keluarga. Dimana seorang anak yang sah tidak dapat
disamakan haknya dengan seorang anak angkat ataupun anak zina. salah satu hak
anak-anak Muslim yang tidak bisa dialihkan kepada orang lain adalah hak untuk
hidup.[12]
Anak-anak dalam Islam juga mempunyai hak memperoleh pengesahan.[13]
Seorang anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan dari orang tuanya,
hal tersebut disebut juga dengan istilah hadhonah. Dalam Kompilasi Hukum
Islam disebutkan dalam pasal 1 sebagai ketentuan umum, bahwa “hadhonah adalah
kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri”.
Selain dari apa yang telah disebutkan, seorang anak yang lahir dalam
sebuah perkawinan yang sah memiliki hak untuk mewarisi harta benda orang tuanya
sesuai dengan aturan yang ada dalam hukum syara’. Anak yang lahir dalam suatu
perkawinan yang tidak sah atau bahkan sama sekali tidak ada hubungan perkawinan
yang biasa disebut dengan anak zina tidak memiliki hak saling mewarisi antara
anak tersebut dengan ayahnya. Anak yang dimaksud tersebut hanya memiliki
hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. selain daripada itu “seluruh ulama
Mazhab sepakat bahwa tidak ada hak waris-mewarisi antara orang yang menemukan
dengan anak yang ditemukan”.[14]
Berkaitan dengan adopsi atau pengangkatan anak, bahwa hal tersebut tidak
semata-mata menjadikan hak waris mewarisi antara orang tua yang mengadopsi dan
anak yang diadopsi. Sebab, adopsi pada hakikatnya tidak dapat mengubah fakta,
bahwa nasab anak itu bukan kepada dirinya, tetapi kepada orang lain.[15]
Menurut H. Zahry
Hamid yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma[16]
“Sesungguhnya dalam hukum Islam sifat hubungan hukum antara orang tua dan anak
dapat dilihat dari segi material, yaitu memberi nafkah, menyusukan (irdla’)
dan mengasuh (hadhanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta
kasih, penjagaan dan perlindungan serta pendidikan rohani dan lain-lain”.
A. Status dan Hak Anak dalam Undang-Undang
Perkawinan
1. Status Anak dalam Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan tidak hanya diatur dalam aturan agama saja, akan tetapi
perkawinan pun diatur dalam peraturan negara. Di Indonesia masalah perkawinan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, selain itu
peraturan yang lebih khusus bagi orang yang beraga Islam diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam. Disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa Perkawinan
ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”[17].
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal 2 bahwa
“perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”[18].
Semua ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, baik rukun dan syarat yang harus
dipenuhi tercantum dengan sangat jelas didalamnya. Sehingga sebuah perkawinan
tidak hanya sah menurut agama, akan tetapi sah pula secara hukum negara.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi
para pihak yang melangsungkannya, walaupun ikatan yang timbul bukan termasuk
dalam ruang lingkup hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH
Perdata, karena hak dan kewajiban yang lahir dari sebuah perkawinan adalah hak
dan kewajiban dalam hukum keluarga. Yakni hak dan kewajiban sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan.
Selai dari perkawinan, Undang-Undang Perkawinan pun mengatur mengenai hal
anak sebagai akibat dari adanya sebuah perkawinan. disebutkan dalam pasal 42
Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Kemudian disebutkan pula dalam pasal 43 ayat
(1) bahwa “anak yang dilahirhan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Diketahui dari uraian tersebut, bahwa kedudukan anak berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan dikategorikan kedalam dua. Yaitu anak sah dan anak
diluar perkawinan yang sah.
1.
Anak sah adalah seorang anak yang
dilahirkan dalam sebuah perkawinan yang sah. Dimana suatu perkawinan akan
dikatakan sah apabila telah terpenuhi syarat-syarat dan rukunnya sebagai mana
telah ditentukan dalam peraturan tersebut.
Perkawinan dapat dikatakan sah oleh negara apabila telah terpenuhi bagian
dari pasal 2 ayat (1) dan (2) dari Undang-Undang Perkawinan. yang isinya adalah
sebagai berikut ayat (1) “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menrut huum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” ayat (2) “tiap-tiap perkawinan
dicatat sesuai dengan undang-undang yang berlaku”. Setelah kedua hal dari pasal
tersebut telah terpenuhi dalam sebuah perkawinan, maka dapat dikatakan
perkawinan tersebut sah secara hukum agama dan sah pula secara hukum negara.
2.
Anak diluar perkawinan yang sah
adalah anak yang lahir akibat dari suatu perkawinan yang tidak sah. Hal ini
dapat disebabkan karena perkawinan orang tua dari anak tersebut merupakan
perkawinan yang tidak dibenarkan baik secara agama atupun secara hukum negara.
Dapat pula diakibatkan karena perkawinan tersebut melanggar pasal yang telah
ditentukan oleh undang-undang yang telah mengaturnya.
Terkait dengan sah tidaknya seorang anak harus dilakukan karena menurut
Abdulkadir Muhammad[19]
mengatakan bahwa “Pembedaan ini perlu untuk mengurangi kemungkinan terjadi
kelahiran sebelum perkawinan dilangsungkan, dan juga ada hubungannya dengan hak
mewarisi”.
Dikatakan Oleh Subekti[20]
bahwa “si ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan istrinya telah
berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Disini si
ayah itu harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain
dalam waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu”. Dalam hal
terkait terhadap penyangkalan seorang anak diatur dalam pasal 44 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai
berikut (1) “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak
itu akibat dari perzinaan tersebut”. (2) “pegadilan memberikan keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menentukan ukuran tentang sah dan
tidaknya seorang anak yang dilahirkan, selalu tidak terlepas dengan persoalan
keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya. Karena dari perkawinan
yang sah akan melahirkan seorang anak yang sah, sedangkan perkawinan yang tidak
sah atau bahkan sama sekali tidak pernah ada perkawinan akan melahirkan anak
dalam status anak yang tidak sah.
Sebenarnya, permasalahan mengenai kedudukan anak dalam aturan
Undang-Undang Perkawinan masih simpang siur. Hal ini dapat dilihat dari bunyi
pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “anak yang
dilahirhan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Dari bunyi pasal tersebut menimbulkan banyak penafsiran.
Terkait dengan kalimat “anak yang dilahirkan diluar perkawinan” mengandung
makna seperti apa? Apakah yang dimaksud diluar perkawinan itu adalah suatu
kelahiran yang sama sekali tanpa adanya proses perkawinan, atau termasuk
kedalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama sebagaimana disyaratkan
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, atu sebenarnya menunjuk pada
suatu proses perkawinan yang tidak
didaftarkan sesuai dengan syarat pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Jika diterjemahkan secara parsial bunyi pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan tanpa memperhatikan ketentuan pasal 42. Maka anak yang dibenihkan
dalam suatu perkawinan yang sah namun ketika anak tersebut lahir perkawinan
orang tuanya telah putus. Maka anak tersebut hanya akan memiliki hubungan
perdata dengan ibunya karena anak tersebut lahir diluar perkawinan.
Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “kedudukan
anak dalam ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah
tersendiri”, namun sampai dengan saat ini pemerintah masih belum mengeluarkan
peraturan terkait atas kedudukan anak luar kawin. Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar kawin.
2. Hak Anak dalam Undang-Undang Perkawinan
Mengenai hak yang dimiliki oleh seorang anak dalam sebuah perkawinan
diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 dalam Undang-Undang Perkawinan.
Dalam undang-undang tersebut dikemukakan bahwa seorang anak memiliki hak untuk
dipelihara dan mendapatkan pendidikan sebaik-baiknya dari kedua orang
tuanya.hak tersebut harus terpenuhi hingga anak itu melakukan perkawinan atau
hingga dapat berdiri sendiri. Hak-hak tersebut harus terus terpenuhi walaupun
perkawinan diantara orang tuanya telah putus karena mengalami perceraian.
Disamping kewajiban itu, “orang tua menguasai pula anaknya sampai anak berumur
18 tahun atau belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili
anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan”.[21]
Dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat perbedaan hak yang dimiliki oleh
seorang anak yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah dengan hak yang
dimiliki oleh anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Anak yang sah
memiliki hubungan perdata kepada kedua orang tuanya dan memiliki hak yang harus
terpenuhi oleh kedua orang tuanya. termasuh saling mewarisi satu sama lainnya.
Namun, anak yang terlahir diluar perkawinan yang sah, hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja dan hanya bisa saling mewarisi
dengan ibunya saja. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan.
Terkait dengan pengangkatan terhadap anak terdapat aturannya dalam pasal
171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam. Yang menyatakan bahwa: “Anak angkat adalah
anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
B. Kedudukan dan Hak Anak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010
1. Kedudukan Anak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi menyelesaikan permasalahan dalam hal
permohonan mengenai kedudukan seorang anak. dimana permohonan tersebut
terselesaikan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010. Adapun duduk perkara dari permohonan tersebut adalah bahwa A
sebagai Pemohon merupakan pihak yang secara tidak langsung mengalami dan
merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya Undang-Undang
Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1).
Keberadaan pasal ini menimbulkan ketidak pastian hukum yang mengakibatkan
kerugian terhadap Pemohon terkait atas status perkawinan dan status hukum anak
yang dihasilkan dari perkawinannya.
Pasal yang dianggap telah melanggar dan merugikan hak konstitusi Pemohon adalah
Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pasal tersebut Pemohon
memiliki hak konstitusional untuk mendapat pengesahan atas pernikahan dan
mendapatkan status hukum untuk anaknya. Namun hak konstitusional yang dimiliki
oleh pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam Undang-Undang Perkawinan.
Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan Pemohon adalah
sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk kepada norma
konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan
sesuai dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalan dengan berlakunya Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut
adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk
mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Norma
konstitusi yang tibul dari pasal tersebut adalah adanya persamaan dan
kesetaraan dihadapan hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum
terhadap setiap orang dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan
anak yang dilahirkan dari anak tersebut adalah sah dihadapan hukum serta tidak
dilakukan berbeda. Tetapi, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan
oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum. Perkawinan Pemohon yang sudah sah
berdasarkan rukun nikah dan norma agama Islam, menurut norma hukum menjadi
tidak sah karena tidak tercatat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak
terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan pemohon menjadi anak
diluar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah
barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum
menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan anak yang terlantar saja, yang status
orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara. Dan, hal yang berbeda
diperlakukan terhadap anak Pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah,
sesuai dengan rukun nikah dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh oleh
Undang-Undang Perkawinan.
Dalam kedudukannya sebagaimana diterangkan terlebih dahulu, maka telah
terbukti Pemohon memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian konstitusional dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan. berdasarkan
duduk perkara tersebut, maka Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
berkenan memberikan putusan agar menerima dan mengabulkan Permohonan Uji
Materiil Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bertentangan dengan Pasal 28B ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dan menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan
segala akibat hukumnya. Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka
dimohonkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Atas permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon, maka Pemohon mengajukan
bukti-bukti untuk mmemperkuat dalil permohonannya. Selai itu, Pemohon pun
mengajukan keterangan ahli untuk didengar keterangannya. yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag., yang telah
didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam
persidangan tanggal 4 Mei 2011, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan adalah
sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Namun
keberadaan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
mengakibatkan adanya dua pemahaman. Di satu sisi, perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, di sisi lain perkawinan
dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dicatat.
Dari perspektif hukum Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah
memenuhi lima rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon mempelai
wanita, dua orang saksi, dan wali dari pihak mempelai wanita. Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif dengan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, serta berdampak pada pernikahan seseorang
yang telah memenuhi syarat dan rukun secara Islam tetapi karena tidak dicatat
di Kantor Urusan Agama (KUA) maka
pernikahannya menjadi tidak sah.
Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa anak dari perkawinan tersebut hanya
memiliki nasab dan hubungan kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu. Pada akta
kelahirannya, anak tersebut akan ditulis sebagai anak dari ibu tanpa bapak.
Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat,
kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya.
Keharusan mencatatkan pernikahan yang berimplikasi pada status anak di
luar nikah yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya
adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, karena anak yang seharusnya dilindungi dari
berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya
karena orang tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan yang tidak dicatat. Dalam
hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa
orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep dosa turunan atau pelimpahan dosa
dari satu pihak ke pihak lainnya. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam
bersifat individu. Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain,
apalagi bertanggung jawab terhadap dosa orang lain.
Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernasab kepada ibu kandungnya,
namun ini bukan anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi syarat dan
rukun). Anak yang lahir dari perkawinan sah secara Islam, meskipun tidak
dicatatkan pada instansi terkait, tetap harus bernasab kepada kedua bapak dan
ibunya. Bahkan dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut
memutus hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang akan diadopsi
tidak diketahui asal muasal dan bapak kandungnya, maka harus diakui sebagai
saudara seagama atau aula/anak angkat dan bukan dianggap sebagai anak kandung.
Dalam fiqh, tidak pernah disebutkan
bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat perintah dalam Al-Qur’an Surat
an-Nisa’ untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk
ulil amri). Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan mengandung madharat, tetapi menghapusnya juga
menimbulkan madharat, maka dalam kaidah
hukum Islam, harus dipilih madharat-nya yang paling ringan.
Pertimbangan hukum yang diberikan oleh mahkamah konstitusi atas Permohonan
tersebut adalah bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi terlebih
dahulu mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo,
Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusional adalah mengadili pada tingkat pertamadan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstutionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi salahsatu kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga oleh
karenanya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan tersebut.
Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon berdasarkan Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya. Dengan
demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaiman dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diakibatkan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
Dengan melakukan pemeriksaan secara seksama dan bukti-bukti yang diberikan
atas kedudukan hukum (legal standing) serta memperhatikan akibat yang
dialami oleh para Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon,
menurut Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian
yang dimaksud oleh Pemohon atas berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan
permohonan tersebut.
Oleh karena Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan tersebut,
dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan pokok permohonan. Diketahui bahwa pokok
permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Prkawinan yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”,
dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya
mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Terhadap permasalahan
hukum pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah
mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai
permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan “...bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang
berlaku. Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.”
Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perkawinan di atas nyatalah
bahwa pencatatan perkawinan bukanlah
merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan merupakan
kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang
ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan
oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban
administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan
tersebut menurut Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama,
dari perspektif negara. Pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi negara
memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi
manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan (pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Sekiranya pencatatan
dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah
Konstitusi tidak
bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan
dengan undang-undang dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dankebebasan orang lai, dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis (Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kedua, Pencatatan secara
administratif yang dilakukan oleh negara dimaksud agar perkawinan sebagai
perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi
terjadinya akibat hukum yang luas, dikemudian hari dapat dibuktikan dengan
bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan
oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang
bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan
dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat
perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan
proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih
banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 Undang-Undang
Prkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan
akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan
yang berwenang. Pembuktian yang dimiliki pasti tidak lebih efektif dan efisien
bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.
Permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah
mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar
perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu
dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya
pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus)
maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan
terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala
hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut
sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan
laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan
dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut
sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang
ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari
laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena
kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan
dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak
dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu,
dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai
bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki
tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal
prosedur/administratif perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan
perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, Padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan
status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka
Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut
pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Prkawinan beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di liar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkostitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan tekhnologidan/atau alat bukti lain yang menurut hukum
mempunyaihubungan darah sebagai ayahnya
Berdasarkan penilaian atas fakta
dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk mengadili permohonan
tersebut. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan tersebut. Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk
sebagian. Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dari permohonan tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar
putusan yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menyatakan,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Menolak
permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Kemudian, memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Dari apa yang diuraikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tersebut diketahui bahwa ada perubahan kedudukan yang dimiliki
oleh anak yang lahir diluar perkawinan. Terkait atas keabsahan perkawinan dari
orang tuanya. Dapat dimaknai berdasarkan putusan tersebut bahwa kedudukan anak
dapat dikategorikan kedalam dua kedudukan, yaitu anak yang sah sesuai dengan
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan dan anak diluar perkawinan berdasar pasal 43
ayat (1) Udang-Undang Perkawinan. Namun dengan hadirnya putusan Mahkamah
Konstitusional tersebut. Kini anak yang lahir diluar perkawinan bukan hanya
memiliki hubungan terhadap ibu dan keluarga ibunya saja. Melainkan anak
tersebut dapat memiliki hubungan perdata terhadap ayah dan keluarga ayahnya,
hal ini terlihat dengan adanya pemaknaan yang keluar dari amar putusan tersebut
yaitu “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”. Tentunya hubungan tersebut harus memenuhi pula syarat yang
telah ditentukan. Yaitu dengan adanya pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum yang dapat membuktikan
anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang menjadi ayahnya.
2. Hak Anak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pada mulanya dalam pasal 43 Undang-Undang Perkawinan seorang anak yang
dilahirkan dari sebuah perkawinan yang tidak sah hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Namun setelah lahirnya putusan
Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan kedudukan anak sekaligus sebagai uji
materil atas pasal 43 tersebut, maka pasal tersebut mengalami perubahan dan
menjadikan kedudukan yang dimiliki oleh seorang anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang sah pun mengalami perubahan. Dimana, sejak lahirnya putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut anak yang terlahir dari perkawinan yang tidak sah
tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. akan
tetapi memiliki hubungan perdata pula dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan kedudukan
anak membuat perubahan yang sangat besar terhadap kedudukan anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Tidak hanya memiliki hak yang harus
terpenuhi oleh ibunya saja, namun dengan adanya putusan tersebut hak yang
dimiliki anak tersebut harus terpenuhi pula oleh sang ayah. Dimana kedudukan
ayah dari anak tersebut harus dapat dibuktikan dan dibenarkan bahwa ayah
tersebut adalah benar sebagai ayah biologis dari sang anak. Sebagaiman telah
disebutkan bahwa pembuktian kebenaran seorang ayah dapat dibuktikan dengan cara
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yag dibenarkan menurut
hukum dan dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan
ayahnya.
Sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seorang anak melalui
putusan pengadilan ia berhak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan dan
pendidikan dari ayah biologisnya. Seorang anak dan ibunya berhak dan terbuka
peluang untuk membuktikan seorang laki-laki yang mereka tunjuk adalah ayah yang
telah membenihkannya. Hal ini berdasar atas putusan pengadilan apabila
laki-laki tersebut dinyatakan terbukti sebagai ayah biologis dari anak yang
dimaksud. Maka sejak adanya putusan dari pengadilan seorang laki-laki sebagai
ayah biologis dari seorang anak berkewajiban untuk memberikan pemeliharaan
kepada anak biologisnya dalam bentuk pemberian nafkah baik untuk pemeliharaan
maupun pendidikan.
[1] Amiur
Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006) hlm. 276
[6] Ridwan
AZ, Pengertian Zina, Dampak Negatif Perzinaan dan Cara Menghindarinya, dikutip
dari: http://ridwanaz.com/islami/pengertian-zina-dampak-negatif-perzinaan-dan-cara-menghindari-zina,
Diunduh pada tanggal 01 Januari 2015 pukul 22:00 WIB.
[8] Alfagerardi, Anak Temuan, Dikutip
dari: http://islamind.blogspot.com/2011/12/anak-temuan.html.
diunduh Pada Tanggal 01 Januari
2015 Pukul 19:43 WIB.
[10] Lia Hidayati, Anak Zina,
Anak Pungut dan Anak Angkat, Dikutip dari: http://liahidayati.blogspot.com/2012/06/anak-zina-anak-pungut-dan-anak-angkat.html,
diunduh pada Tanggal 01 Januari
2015 pukul 20:30 WIB.
[12] Hammudah
‘Abd. Al’Ati, Keluarga Muslim: Alih bahasa The family Structure in
Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984) hlm. 241